Senin, 25 Januari 2010

Pilih Cerito

Raja Penakluk Hantu Pirau
Datuk Darah Putih

Datuk Darah Putih

Datuk Darah Putih adalah seorang hulubalang dari sebuah kerajaan di negeri Jambi, Indonesia. Ia terkenal sebagai seorang hulubalang yang pemberani, jujur, sakti, dan cendikia. Pada suatu waktu, kerajaan itu diserang oleh Belanda. Berkat kesaktian dan keberanian Datuk Darah Putih, pasukan Belanda berhasil dikalahkan. Bagaimana Datuk Darah Putih bisa mengalahkan mereka? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita Datuk Darah Putih berikut ini!


* * *

Alkisah, di negeri Jambi, ada sebuah kerajaan yang memiliki seorang hulubalang bernama Datuk Darah Putih. Diberi nama demikian, karena jika terluka darah yang keluar dari tubuhnya berwarna putih. Ia seorang hulubalang yang terkenal dengan kejujuran, kepandaian, keberanian, dan kesakstiannya. Raja negeri itu sangat hormat kepadanya, berkat kepatuhan dan kemampuannya menyelesaikan segala tugas yang diembannya.

Pada suatu hari, sang Raja memerintahkan Datuk Darah Putih untuk membentuk pasukan inti kerajaan.

“Wahai, Datuk! Kumpulkan beberapa prajurit pilihan yang memiliki ketangkasan perang yang tinggi, jujur, setia pada raja, rela berkorban untuk kepentingan negeri, serta pantang menyerah dan mengeluh. Setelah itu, latihlah mereka agar menjadi prajurit yang tangguh seperti dirimu!” titah Baginda Raja.

“Daulah, Baginda!” jawab Datuk Darah Putih sambil memberi hormat.

Datuk Darah Putih pun segera melaksanakan perintah raja. Tidak sulit baginya untuk memilih prajurit yang akan dijadikan pasukan inti. Sebab, sebagai seorang hulubalang, ia sudah mengetahui semua kepribadian dan kemampuan perang semua prajuritnya. Dalam waktu singkat, Datuk Darah Putih sudah berhasil mengumpulkan puluhan prajurit pilihan, lalu melatih kemampuan perang mereka dengan penuh kesungguhan. Setelah hampir setahun berlatih secara terus-menerus, seluruh anggota pasukan inti tersebut telah menjadi prajurit yang tangguh, pemberani, dan siap mengorbankan jiwa raganya untuk negeri mereka.

Pada suatu hari, sang Raja mendengar laporan dari seorang mata-mata bahwa Belanda akan datang menyerang negeri mereka.

“Gawat, Baginda!” lapor seorang mata-mata kerajaan yang datang tergopoh-gopoh.

“Ada apa, Prajurit? Kenapa kamu panik seperti itu? Katakanlah!” desak sang Raja.

“Ampun, Baginda! Pasukan Belanda akan menyerbu negeri kita. Mereka sedang menuju kemari melalui jalur laut,” lapor mata-mata itu.

Mendengar laporan itu, sang Raja terdiam, lalu beranjak dari singgasananya. Ia kemudian mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang lebat.

“Mmm... kedatangan mereka pasti ingin mengeruk kekayaan negeri ini. Mereka adalah penjajah yang serakah dan suka mengadu domba penduduk negeri,” kata sang Raja yang sudah mengerti watak penjajah Belanda.

“Apa yang harus kami lakukan, Tuan?” tanya Datuk Darah Putih.

“Karena mereka melalui jalur laut, tentu hanya satu jalan yang dapat dilalui, yaitu Selat Berhala,” ungkap sang Raja.

“Berarti kita harus menghadang mereka di sekitar Pulau Berhala, Tuanku,” sambung Datuk Darah Putih yang sudah mengerti maksud perkataan sang Raja.

“Benar, Datuk! Besok pagi-pagi sekali, berangkatlah ke sana. Hadang dan hancurkan mereka di Selat Berhala. Siapkan seluruh pasukan inti dan beberapa prajurit lainnya!” titah sang Raja.

“Daulah, Baginda! Perintah segera hamba laksanakan,” jawab Datuk Darah Putih sambil memberi hormat.

Hulubalang sakti itu pun segera memerintahkan seluruh pasukannya untuk menyiapkan segala peralatan perang yang diperlukan seperti pedang, tombak, dan keris. Mereka juga menyiapkan bekal makanan, karena diperkirakan masih dua hari lagi kapal pasukan Belanda baru memasuki Selat Berhala. Mereka harus berangkat lebih awal untuk mempersiapkan benteng pertahanan di Pulau Berhala.

Setelah semua peralatan dan bekal disiapkan, pasukan kerajaan yang akan berangkat berperang diperintahkan beristirahat lebih dulu untuk memulihkan tenaga setelah seharian melakukan persiapan. Sementara prajurit lainnya tetap berjaga-jaga di lingkungan istana dari berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Di kediamannya, Datuk Darah Putih tampak sedang bercengkerama bersama istrinya yang sedang hamil tua.

“Dinda! Bagaimana keadaan anak kita?” tanya Datuk Darah Putih sambil mengelus-elus perut istrinya yang buncit.

“Baik, Kanda! Semoga kelak anak kita lahir dengan selamat,” jawab sang Istri.

“Dinda! Besok Kanda bersama pasukan kerajaan akan berangkat ke medan perang untuk bertempur melawan penjajah Belanda. Tolong jaga baik-baik anak kita yang ada di dalam rahimmu ini!” pinta Datuk Darah Putih kepada istrinya.

“Tentu, Kanda! Dinda akan selalu merawatnya dengan baik. Jika anak kita laki-laki, Dinda berharap semoga kelak ia menjadi seorang panglima yang sakti dan pemberani seperti Kanda,” ucap sang Istri dengan penuh harapan.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Datuk Darah Putih bersama pasukannya sudah bersiap-siap untuk berangkat ke Pulau Berhala dengan menggunakan tiga buah jongkong (perahu atau tongkang) besar. Para keluarga istana, termasuk istri Datuk Darah Putih, ikut mengantar pasukan kerajaan tersebut sampai ke pelabuhan. Tidak tampak adanya rasa sedih sedikit pun pada wajah sang Istri. Sebelum meninggalkan pelabuhan, hulubalang sakti itu berpamitan kepada istrinya yang sedang berdiri di samping sang Raja.

“Hati-hati, Kanda! Doa Dinda senantiasa menyertai Kanda. Jika sudah berhasil menumpas para penjajah itu, cepatlah kembali!” pesan sang Istri.

“Baik, Dinda! Kanda akan kembali membawa kemenangan untuk negeri ini,” jawab Datuk Darah Putih sambil mencium kening dan perut istrinya, lalu bergegas naik ke atas jongkong.

Beberapa saat kemudian, ketiga jongkong tersebut berlayar menuju ke Pulau Berhala. Tampak dari kejauhan para pasukan kerajaan melambaikan tangan di atas jongkong. Para pengantar pun membalasnya dengan lambaian tangan pula. Setelah ketiga jongkong tersebut hilang dari pandangan, barulah para pengantar meninggalkan pelabuhan.

Setelah Datuk Darah Putih dengan pasukannya sampai di Pulau Berhala, mereka langsung mengatur strategi, membuat benteng-benteng pertahanan, dan tempat pengintaian. Jongkong-jongkong mereka tambatkan di balik batu karang besar yang ada di sekitar Pulau Berhala agar tidak terlihat oleh pasukan Belanda. Sambil menunggu kedatangan musuh, Datuk Darah Putih kembali menggembleng mental pasukannya.

Keesokan harinya, tampak dari kejauhan iring-iringan kapal pasukan Belanda akan memasuki Selat Berhala.

“Datuk, musuh kita telah datang. Mereka sedang menuju kemari,” lapor seorang prajurit pengintai.

Mendengar laporan itu, Datuk Darah Putih segera menyiapkan seluruh pasukannya.

“Pasukan! Ambil posisi masing-masing! Sekaranglah saatnya kita membaktikan diri kepada Baginda Raja dan negeri tercinta ini!” seru Datuk Darah Putih memberi semangat kepada pasukannya.

Mendengar seruan itu, pasukan kerajaan segera menaiki ketiga jongkong mereka dan menempati posisi masing-masing. Ketika iring-iringan kapal Belanda memasuki Selat Berhala, ketiga jongkong pasukan kerajaan langsung meluncur ke arah kapal-kapal Belanda. Saat jongkong-jongkong tersebut merapat, Datuk Darah Putih beserta pasukannya segera berlompatan masuk ke dalam kapal-kapal Belanda sambil menebaskan pedang dan menusukkan keris ke arah musuh. Pasukan Belanda yang mendapat serangan mendadak itu menjadi panik. Mereka tidak sempat lagi menggunakan bedil mereka. Untuk mengimbangi serangan dari pasukan kerajaan, mereka menggunakan pedang panjang. Namun karena dalam keadaan tidak siaga, mereka pun terdesak dan tidak berdaya. Tidak seorang pun dari pasukan Belanda yang selamat. Semuanya tewas terkena sabetan pedang dan tusukan keris.

Sementara dari pihak pasukan Datuk Darah Putih hanya ada beberapa prajurit yang terluka. Sebelum kembali ke benteng pertahanan di Pulau Berhala, mereka mengambil senjata dan semua perbekalan yang ada, lalu membakar semua kapal Belanda tersebut.

Sesampainya di Pulau Berhala, pasukan Datuk Darah Putih segera merayakan kemenangan itu dengan gembira.

“Datuk! Kita harus segera kembali ke istana untuk menyampaikan berita gembira ini kepada Baginda Raja,” ujar seorang prajurit.

Datuk Darah Putih hanya tersenyum mendengar laporan itu.

“Ketahuilah, Prajurit! Perjuangan kita belum selesai,” jawab Datuk Darah Putih.

“Apa maksud, Datuk? Bukankah semua pasukan Belanda telah tewas?” tanya prajurit itu tidak mengerti.

“Benar katamu, Prajurit! Tapi, itu hanya sebagian kecil. Jika Belanda tidak mendengar berita dari pasukannya yang dikirim dan kita kalahkan itu, tentu mereka akan mengirim pasukan yang lebih besar lagi,” jelas Datuk Darah Putih.

Mendengar penjelasan itu, sang Prajurit hanya bisa manggut-manggut. Dalam hatinya berkata bahwa Datuk Darah Putih memang seorang hulubalang yang cerdik dan pandai.

“Lalu apa tindakan kita selanjutnya, Datuk?” tanya prajurit itu.

“Iya, Datuk! Apakah kita harus tetap di sini menunggu kedatangan pasukan Belanda selanjutnya?” sambung seorang prajurit yang lain.

“Benar, Prajurit! Menurut perkiraanku, pasukan Belanda akan tiba di tempat ini tiga hari lagi. Oleh karenanya, kita harus lebih siap, karena kita akan menghadapi pasukan Belanda yang jumlahnya lebih besar,” ujar Datuk Darah Putih.

Ternyata benar perkiraan Datuk Darah Putih. Tiga hari kemudian, tampak iring-iringan tiga kapal besar dengan jumlah serdadu yang lebih banyak sedang memasuki Selat Berhala. Namun, hal itu tidak membuat Datuk Darah Putih gentar. Ia pun segera menyiapkan pasukannya untuk menghadang mereka.

“Pasukan! Demi negeri ini..., demi masa depan anak cucu kita..., berperanglah sampai titik darah penghabisan!” seru Datuk Darah Putih menyemangati pasukannya.

“Hidup Datuk! Hidup Datuk Darah Putih!” terdengar teriakan para prajurit dengan penuh semangat.

Setelah itu, pasukan Datuk Darah Putih segera menaiki jongkong-jongkong lalu meluncur dan merapat ke kapal-kapal Belanda. Kali ini, mereka menghadapi musuh yang lebih berat. Jumlah pasukan Belanda lebih banyak dibanding pasukan kerajaan, sehingga pertempuran itu tampak tidak seimbang. Seorang prajurit kerajaan terkadang harus menghadapi dua sampai tiga orang serdadu Belanda.

Di haluan kapal, tampak Datuk Darah Putih dikeroyok oleh tiga orang serdadu Belanda. Tidak lama, ia pun mulai terdesak dan tiba-tiba batang lehernya tersabet pedang seorang serdadu Belanda. Maka keluarlah darah putih dari lehernya itu. Namun, dengan sisa-sisa tenaga yang ada, ia tetap melakukan perlawanan.

“Prajurit! Aku terkena pedang. Bawa aku mundur dan yang lain tetaplah bertempur sampai titik darah penghabisan!” teriak Datuk Darah Putih sambil menghindari serangan serdadu Belanda.

Mendengar teriakan itu, beberapa orang prajurit pilihan pun datang membantunya. Dalam waktu singkat, ketiga serdadu Belanda tersebut tewas. Datuk Darah Putih segera dibawa ke Pulau Berhala untuk mendapatkan perawatan. Sesampainya di sana, ia didudukkan di tempat yang aman dan tersembunyi. Para prajurit telah berusaha menutup luka pimpinannya, namun darah putih tetap saja keluar.

“Tolong carikan aku anak batu sengkalan untuk menutupi luka di leherku ini!” perintah Datuk Darah Putih.

Dengan sigapnya, salah seorang prajurit segera mencari batu seperti yang dimaksud pimpinannya itu. Tidak berapa lama, prajurit itu pun kembali membawa sebuah anak batu sengkalan yang tipis, lalu menempelkannya pada luka di leher Datuk Darah Putih. Darah putih itu pun berhenti dan tidak keluar lagi.

Begitu lukanya tertutup batu sengkalan, Datuk Darah Putih tiba-tiba bangkit dari duduknya, lalu melompat ke atas jongkong.

“Terima kasih, Prajurit! Ayo kita kembali berperang melawan penjajah!” seru Datuk Darah Putih dengan penuh semangat.

Prajurit yang menolongnya itu pun segera mengikutinya naik ke atas jongkong. Meskipun masih terluka, Datuk Darah Putih mampu melakukan perlawanan. Bahkan, ia semakin lincah dan gesit memainkan pedangnya, sehingga banyak serdadu Belanda yang terkena sabetan pedangnya. Tidak berapa lama, akhirnya seluruh serdadu Belanda tewas.

“Horeee..., horeee... Kita menang!” terdengar suara gegap gempita pasukan kerajaan menyambut kemenangan itu.

Namun, di balik kegembiraan itu tersimpan rasa duka yang mendalam melihat keadaan Datuk Darah Putih yang terluka parah. Mereka pun kembali ke benteng pertahanan di Pulau Berhala sambil memapah Datuk Darah Putih. Berhubung hari sudah sore, mereka pun memutuskan untuk beristirahat semalam di Pulau Berhala.

Keesokan harinya, Datuk Darah Putih bersama pasukannya kembali ke istana kerajaan. Sesampainya di istana, mereka disambut oleh keluarga istana dan rakyat negeri dengan perasaan duka cita. Banyak orang yang iba melihat kondisi Datuk Darah Putih yang terluka parah. Mengetahui suaminya datang, dengan perasaan tenang dan tabah, istri Datuk Darah Putih menaruh bayinya di atas tempat tidur, lalu segera menyongsong ikut memapah suaminya dan mendekatkannya pada bayi mereka yang lahir dua hari sebelumnya.

“Kanda, Anak kita laki-laki. Lihatlah! Dia tampan seperti Kanda,” ujar sang Istri menghibur suaminya.

Dengan sisa tenaga yang dimiliki dan dengan dibantu istrinya, Datuk Darah Putih mengangkat bayinya, kemudian mendekap dan mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. Setelah itu, ia meletakkan bayi itu di pangkuan istrinya.

“Maafkan Kanda, Dinda! Tolong rawatlah anak kita baik-baik!” pinta Datuk Darah Putih dengan suara pelan.

Setelah itu, Datuk Darah Putih duduk di lantai rumahnya, lalu membaringkan tubuhnya dengan pelan. Pada saat tubuhnya terbaring itulah Datuk Darah Putih menghembuskan napasnya yang terakhir. Sang Istri hanya bisa pasrah, karena ia sadar semua itu merupakan kehendak Tuhan Yang Mahakuasa.

* * *

Demikian cerita Datuk Darah Putih dari daerah Jambi. Cerita di atas termasuk mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik adalah pentingnya seorang pemimpin yang baik. Sifat ini tampak pada sikap dan perilaku Datuk Darah Putih. Ia senantiasa memberi semangat dan suri teladan kepada prajuritnya. Meskipun dalam keadaan terluka, ia tetap bersemangat memimpin pasukannya dalam melawan pasukan Belanda.

Dalam kehidupan orang Melayu, pemimpin yang baik sangatlah diutamakan. Untuk itu, mereka selalu berusaha mengangkat pemimpin yang lazim disebut “orang yang dituakan” oleh masyarakat dan kaumnya. Pemimpin ini diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun kaumnya (Tenas Effendy, 2006: 653). Dalam tunjuk ajar Melayu banyak disebutkan tentang acuan dasar bagi seorang pemimpin yang baik, di antaranya:

yang dikatakan pemimpin,
mau manampin tahan berlenjin
mau bersakit tahan bersempit
mau berteruk tahan terpuruk
mau berhimpit tahan belengit
mau bersusah tahan berlelah
mau berpenat tahan bertenat
mau berkubang tahan bergumbang
mau bertungkus lumus tahan tertumus
mau ke tengah tahan menepi
mau bersusah tahan merugi



Sumber:
Kaslani. Buku Cerita Rakyat Dari Jambi 2. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. 1998.

Raja Jambi Penakluk Hantu Pirau

Raja Jambi dalam cerita ini adalah Raja Jambi Pertama yang berasal dari negeri Keling (India). Pada suatu ketika, Negeri Jambi dikacaukan oleh Hantu Pirau. Seluruh warga menjadi resah, karena mereka tidak bisa keluar rumah mencari nafkah. Bagaimana Raja Jambi menaklukkan Hantu Pirau itu? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Raja Jambi Penakluk Hantu Pirau berikut.

* * *

Alkisah, di Negeri Jambi, ada seorang raja yang terkenal sakti mandraguna. Ia adalah Raja Jambi Pertama yang berasal dari Negeri Keling. Selain sakti mandraguna, ia juga terkenal arif dan bijaksana. Ia senantiasa memikirkan nasib dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Keadaan ini membuat rakyat tenang dalam melakukan pekerjaan sehari-hari mencari nafkah. Itulah sebabnya, ia sangat disegani oleh seluruh rakyatnya.

Pada suatu ketika, suasana tenang tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan Hantu Pirau. Ia selalu datang menakut-nakuti anak-anak kecil yang sedang bermain dan mengganggu bayi-bayi yang sedang tidur. Jika melihat bayi ataupun anak-anak kecil, Hantu Pirau suka tertawa terkekeh-kekeh kegirangan, sehingga anak-anak menjadi ketakutan dan bayi-bayi pun menangis. Namun, jika para orangtua menjaga anak-anak mereka, hantu itu tidak berani datang mengganggu. Oleh karenanya, para orangtua setiap saat harus selalu menjaga anak-anak mereka baik ketika sedang bermain maupun tidur di buaian. Keadaan tersebut membuat warga menjadi resah, karena mereka tidak bisa keluar rumah untuk pergi mencari nafkah.

Melihat keadaan itu, para pemimpin masyarakat dari Tujuh Koto, Sembilan Koto, dan Batin Duo Belas atau yang lazim disebut Dubalang Tujuh, Dubalang Sembilan, dan Dubalang Duo Belas, mencoba mengusir hantu tersebut dengan membacakan segala macam mantra yang mereka kuasai. Namun, semuanya sia-sia. Bahkan, kelakuan hantu itu semakin menjadi-jadi. Hampir setiap saat, baik siang maupun malam, ia selalu datang mengganggu anak-anak hingga menangis dan menjerit-jerit ketakutan.

“Segala cara sudah kita lakukan, tapi Hantu Pirau itu tetap saja tidak mau enyah dari negeri ini. Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dubalang Tujuh bingung.

“Bagaimana kalau kejadian ini kita sampaikan kepada raja?” usul Dubalang Sembilan.

“Aku setuju. Bukankah beliau seorang raja yang sakti mandraguna?” sahut Dubalang Duo Belas.

“Baiklah kalau begitu! Ayo kita bersama-sama pergi menghadap kepada raja,” kata Dubalang Tujuh.

Setelah mendapat kata mufakat, akhirnya ketiga dubalang tersebut segera menghadap Raja Negeri Jambi. Sesampainya di istana, mereka pun segera melaporkan semua peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka.

“Ampun, Baginda! Kami ingin melaporkan sesuatu kepada Baginda,” kata Dubalang Dua Belas.

“Katakanlah! Apakah gerangan yang terjadi di negeri ini, wahai Dubalang?” tanya Raja Jambi ingin tahu.

“Ampun Baginda! Beberapa hari ini, Hantu Pirau selalu datang mengganggu anak-anak kami. Mula-mula mereka merasa geli dan tertawa, tapi lama-kelamaan mereka menangis dan menjerit ketakutan,” jawab Dubalang Duo Belas.

“Ampun, Baginda! Kami sudah melakukan berbagai cara, namun Hantu Pirau itu selalu saja datang mengganggu mereka,” tambah Dubalang Sembilan.

“Bagaimana bentuk dan rupa Hantu Pirau itu? Apakah kalian pernah melihatnya?” tanya Raja Jambi.

“Belum Baginda! Kami hanya sering mendengar suara gelak tawanya kegirangan ketika anak-anak itu menangis dan menjerit-jerit,” jawab Dubalang Duo Belas.

Mendengar laporan para dubalang tersebut, Raja Jambi tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang lebat dan sudah mulai memutih. Ia kemudian beranjak dari singgasananya lalu berjalan mondar-mandir.

“Baiklah kalau begitu. Pulanglah ke negeri kalian dan sampaikan kepada seluruh warga yang pandai membuat lukah[1] agar masing-masing orang membuat sebuah lukah!” titah Raja Negeri Jambi.

“Ampun, Baginda! Untuk apa lukah itu? Bukankah sekarang belum musim berkarang (mencari ikan)?” tanya Duabalang Duo Belas dengan penuh keheranan.

“Sudahlah, laksanakan saja apa yang aku perintahkan tadi! Jangan lupa, setelah lukah-lukah tersebut selesai, segeralah memasangnya di atas bukit dengan mengikatkannya pada tonggak-tonggak yang kuat. Setelah itu, setiap pagi dan sore kalian bergiliran ke atas bukit untuk melihat lukah-lukah tersebut!” perintah sang Raja.

Mendengar penjelasan sang Raja, ketiga dubalang itu langsung mohon diri untuk melaksanakan perintah. Tak satu pun dari mereka yang berani kembali bertanya kepada raja. Dalam perjalanan pulang, mereka terus bertanya-tanya dalam hati tentang perintah sang Raja.

Sesampainya di negeri masing-masing, ketiga dulabang itu langsung menyampaikan perintah raja kepada seluruh warganya. Para warga hanya terheran-heran ketika menerima perintah itu. Ketika bertanya kepada ketiga dubalang, mereka tidak mendapat jawaban yang pasti. Sebab ketiga dubalang itu juga tidak mengetahui maksud sang Raja. Namun karena itu adalah perintah raja, para warga pun segera membuat lukah, meskipun dalam hati mereka selalu bertanya-tanya. Lukah-lukah tersebut kemudian mereka pasang di atas bukit yang tak jauh dari permukiman penduduk. Setiap pagi dan sore ketiga dubalang itu secara bergiliran naik ke atas bukit untuk melihat dan memeriksa lukah-lukah tersebut. Pada hari pertama, kedua, ketiga hingga hari keenam, belum menunjukkan adanya tanda-tanda yang mencurigakan.

Pada hari ketujuh di pagi hari, Dubalang Duo Belas mendapat giliran naik ke atas bukit untuk memeriksa lukah-lukah tersebut. Alangkah terkejutnya saat ia berada di atas bukit. Ia melihat sesuatu menggelepar-gelepar di dalam sebuah lukah. Bentuknya menyerupai manusia, tetapi kecil. Makhluk itu juga dapat berbicara seperti manusia. Ketika Dubalang Duo Belas mendekat, makhluk aneh itu mengeluarkan suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya.

“Hei, sepertinya aku sering mendengar suara itu. Bukankah itu suara Hantu Pirau yang sering mengganggu anak-anak kecil?” tanya Dubalang Duo Belas dalam hati.

Setelah memastikan bahwa suara itu benar-benar Hantu Pirau, maka yakinlah ia bahwa makhluk yang terperangkap dalam lukah itu pastilah Hantu Pirau. Ia pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Negeri Jambi.

“Ampun, Baginda! Hamba baru saja dari bukit itu. Hamba menemukan seekor makhluk yang terperangkap ke dalam lukah. Apakah dia itu Hantu Pirau?” tanya Dubalang Duo Belas.

“Benar, dubalang! Bawalah Hantu Pirau itu kemari!” titah sang Raja.

“Baik, Baginda! Hamba laksanakan!” ucap Dubalang Duo Belas seraya berpamitan.

Sebelum menuju ke atas bukit, ia mengajak Dubalang Sembilan dan Dubalang Tujuh untuk bersama-sama mengambil lukah tersebut. Setelah membuka tali pengikat lukah dari tonggak, ketiga dubalang tersebut membawa lukah yang berisi Hantu Pirau itu ke hadapan sang Raja.

“Sudah tahukah kalian, wahai dubalang! Makhluk inilah yang bernama Hantu Pirau yang sering menganggu anak-anak kecil,” ungkap sang Raja.

“Mengerti Baginda!” jawab ketiga dubalang itu serentak.

“Pengawal! Siapkan pedang yang tajam! Aku akan memotong-motong tubuh hantu ini,” perintah sang Raja kepada seorang pengawal.

Mendengar ancaman tersebut, Hantu Pirau itu pun langsung memohon ampun kepada Raja Negeri Jambi.

“Ampun, Tuan! Janganlah bunuh hamba! Jika Tuan sudi melepaskan hamba dari lukah ini, hamba akan memenuhi segala permintaan Tuan. Bukankah Tuan adalah Raja yang arif dan bijaksana?”

“Baiklah, kalau begitu! Aku hanya ada dua permitaan. Pertama, setelah keluar dari lukah ini, tinggalkan negeri ini dan jangan pernah kembali mengganggu wargaku lagi, terutama anak-anak kecil. Kedua, serahkan cincin pinto-pinto (pinta-pinta, yakni cincin sakti, apo yang kuminta harus ado) itu kepadaku!” kata sang Raja.

Hantu Pirau pun langsung menyanggupi permintaan Raja Jambi. Setelah dikeluarkan dari lukah, ia pun segera menyerahkan cincin pinto-pinto nya kepada sang Raja, lalu pergi meninggalkan Negeri Jambi. Sejak itu, Negeri Jambi tidak pernah lagi diganggu oleh Hantu Pirau. Keadaan negeri kembali aman, damai dan tenang. Seluruh penduduk kembali melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dengan perasaan aman dan tenang.

Beberapa tahun setelah peristiwa Hantu Pirau itu, Raja Negeri Jambi tiba-tiba berpikir ingin membuktikan kesaktian cincin pinto-pinto pemberian Hantu Pirau. Namun karena keinginannya tidak ingin diketahui oleh rakyat Negeri Jambi, maka ia pun menyampaikan kepada rakyatnya bahwa dia akan pulang ke negerinya di Keling (India) dalam waktu beberapa lama.

Sesampai di negerinya, Raja Jambi pun segera menguji kesaktian cincin pinto-pinto itu.

“Hei cincin pinto-pinto! Jadikanlah Kota Bambay ini sebagai kota yang bertahtakan mutiara, batu permata, dan intan berlian!” pinta Raja Jambi.

Dalam waktu sekejap, suasana Kota Bombay tiba-tiba berubah menjadi gemerlap. Seluruh sudut kota dipenuhi dengan mutiara, batu permata dan intan berlian. Alangkah senang hati sang Raja melihat pemandangan yang indah dan menggiurkan itu. Ia pun enggan untuk kembali ke Negeri Jambi. Namun sebagai raja yang arif dan bijaksana, beberapa tahun kemudian ia mengutus salah seorang putranya yang bernama Sultan Baring untuk menggantikannya sebagai Raja Jambi.

Mendapat perintah itu, Sultan Baring pun segera berangkat ke Negeri Jambi bersama dengan beberapa orang pengawalnya. Sesampainya di Negeri Jambi, ia pun segera menyampaikan amanah ayahnya kepada seluruh rakyat Jambi bahwa sang Ayah tidak dapat lagi memerintah Negeri Jambi karena sudah tua. Setelah itu, ia membacakan surat pengangkatannya sebagai Raja Jambi Kedua setelah ayahnya. Rakyat Jambi pun menyambutnya dengan gembira, karena ia juga seorang Raja yang arif dan bijaksana seperti ayahnya. Konon, Sultan Baring inilah yang menurunkan raja-raja, sultan-sultan maupun raden-raden berikutnya, seperti Sultan Taha Saifuddin dan Raden Ino Kartopati.


Raja Jambi dalam cerita ini adalah Raja Jambi Pertama yang berasal dari negeri Keling (India). Pada suatu ketika, Negeri Jambi dikacaukan oleh Hantu Pirau. Seluruh warga menjadi resah, karena mereka tidak bisa keluar rumah mencari nafkah. Bagaimana Raja Jambi menaklukkan Hantu Pirau itu? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Raja Jambi Penakluk Hantu Pirau berikut.

Alkisah, di Negeri Jambi, ada seorang raja yang terkenal sakti mandraguna. Ia adalah Raja Jambi Pertama yang berasal dari Negeri Keling. Selain sakti mandraguna, ia juga terkenal arif dan bijaksana. Ia senantiasa memikirkan nasib dan mengutamakan kepentingan rakyatnya. Keadaan ini membuat rakyat tenang dalam melakukan pekerjaan sehari-hari mencari nafkah. Itulah sebabnya, ia sangat disegani oleh seluruh rakyatnya.

Pada suatu ketika, suasana tenang tersebut tiba-tiba terusik oleh kedatangan Hantu Pirau. Ia selalu datang menakut-nakuti anak-anak kecil yang sedang bermain dan mengganggu bayi-bayi yang sedang tidur. Jika melihat bayi ataupun anak-anak kecil, Hantu Pirau suka tertawa terkekeh-kekeh kegirangan, sehingga anak-anak menjadi ketakutan dan bayi-bayi pun menangis. Namun, jika para orangtua menjaga anak-anak mereka, hantu itu tidak berani datang mengganggu. Oleh karenanya, para orangtua setiap saat harus selalu menjaga anak-anak mereka baik ketika sedang bermain maupun tidur di buaian. Keadaan tersebut membuat warga menjadi resah, karena mereka tidak bisa keluar rumah untuk pergi mencari nafkah.

Melihat keadaan itu, para pemimpin masyarakat dari Tujuh Koto, Sembilan Koto, dan Batin Duo Belas atau yang lazim disebut Dubalang Tujuh, Dubalang Sembilan, dan Dubalang Duo Belas, mencoba mengusir hantu tersebut dengan membacakan segala macam mantra yang mereka kuasai. Namun, semuanya sia-sia. Bahkan, kelakuan hantu itu semakin menjadi-jadi. Hampir setiap saat, baik siang maupun malam, ia selalu datang mengganggu anak-anak hingga menangis dan menjerit-jerit ketakutan.

“Segala cara sudah kita lakukan, tapi Hantu Pirau itu tetap saja tidak mau enyah dari negeri ini. Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Dubalang Tujuh bingung.

“Bagaimana kalau kejadian ini kita sampaikan kepada raja?” usul Dubalang Sembilan.

“Aku setuju. Bukankah beliau seorang raja yang sakti mandraguna?” sahut Dubalang Duo Belas.

“Baiklah kalau begitu! Ayo kita bersama-sama pergi menghadap kepada raja,” kata Dubalang Tujuh.

Setelah mendapat kata mufakat, akhirnya ketiga dubalang tersebut segera menghadap Raja Negeri Jambi. Sesampainya di istana, mereka pun segera melaporkan semua peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka.

“Ampun, Baginda! Kami ingin melaporkan sesuatu kepada Baginda,” kata Dubalang Dua Belas.

“Katakanlah! Apakah gerangan yang terjadi di negeri ini, wahai Dubalang?” tanya Raja Jambi ingin tahu.

“Ampun Baginda! Beberapa hari ini, Hantu Pirau selalu datang mengganggu anak-anak kami. Mula-mula mereka merasa geli dan tertawa, tapi lama-kelamaan mereka menangis dan menjerit ketakutan,” jawab Dubalang Duo Belas.

“Ampun, Baginda! Kami sudah melakukan berbagai cara, namun Hantu Pirau itu selalu saja datang mengganggu mereka,” tambah Dubalang Sembilan.

“Bagaimana bentuk dan rupa Hantu Pirau itu? Apakah kalian pernah melihatnya?” tanya Raja Jambi.

“Belum Baginda! Kami hanya sering mendengar suara gelak tawanya kegirangan ketika anak-anak itu menangis dan menjerit-jerit,” jawab Dubalang Duo Belas.

Mendengar laporan para dubalang tersebut, Raja Jambi tersenyum sambil mengelus-elus jenggotnya yang lebat dan sudah mulai memutih. Ia kemudian beranjak dari singgasananya lalu berjalan mondar-mandir.

“Baiklah kalau begitu. Pulanglah ke negeri kalian dan sampaikan kepada seluruh warga yang pandai membuat lukah[1] agar masing-masing orang membuat sebuah lukah!” titah Raja Negeri Jambi.

“Ampun, Baginda! Untuk apa lukah itu? Bukankah sekarang belum musim berkarang (mencari ikan)?” tanya Duabalang Duo Belas dengan penuh keheranan.

“Sudahlah, laksanakan saja apa yang aku perintahkan tadi! Jangan lupa, setelah lukah-lukah tersebut selesai, segeralah memasangnya di atas bukit dengan mengikatkannya pada tonggak-tonggak yang kuat. Setelah itu, setiap pagi dan sore kalian bergiliran ke atas bukit untuk melihat lukah-lukah tersebut!” perintah sang Raja.

Mendengar penjelasan sang Raja, ketiga dubalang itu langsung mohon diri untuk melaksanakan perintah. Tak satu pun dari mereka yang berani kembali bertanya kepada raja. Dalam perjalanan pulang, mereka terus bertanya-tanya dalam hati tentang perintah sang Raja.

Sesampainya di negeri masing-masing, ketiga dulabang itu langsung menyampaikan perintah raja kepada seluruh warganya. Para warga hanya terheran-heran ketika menerima perintah itu. Ketika bertanya kepada ketiga dubalang, mereka tidak mendapat jawaban yang pasti. Sebab ketiga dubalang itu juga tidak mengetahui maksud sang Raja. Namun karena itu adalah perintah raja, para warga pun segera membuat lukah, meskipun dalam hati mereka selalu bertanya-tanya. Lukah-lukah tersebut kemudian mereka pasang di atas bukit yang tak jauh dari permukiman penduduk. Setiap pagi dan sore ketiga dubalang itu secara bergiliran naik ke atas bukit untuk melihat dan memeriksa lukah-lukah tersebut. Pada hari pertama, kedua, ketiga hingga hari keenam, belum menunjukkan adanya tanda-tanda yang mencurigakan.

Pada hari ketujuh di pagi hari, Dubalang Duo Belas mendapat giliran naik ke atas bukit untuk memeriksa lukah-lukah tersebut. Alangkah terkejutnya saat ia berada di atas bukit. Ia melihat sesuatu menggelepar-gelepar di dalam sebuah lukah. Bentuknya menyerupai manusia, tetapi kecil. Makhluk itu juga dapat berbicara seperti manusia. Ketika Dubalang Duo Belas mendekat, makhluk aneh itu mengeluarkan suara yang sudah tidak asing lagi di telinganya.

“Hei, sepertinya aku sering mendengar suara itu. Bukankah itu suara Hantu Pirau yang sering mengganggu anak-anak kecil?” tanya Dubalang Duo Belas dalam hati.

Setelah memastikan bahwa suara itu benar-benar Hantu Pirau, maka yakinlah ia bahwa makhluk yang terperangkap dalam lukah itu pastilah Hantu Pirau. Ia pun segera melaporkan hal itu kepada Raja Negeri Jambi.

“Ampun, Baginda! Hamba baru saja dari bukit itu. Hamba menemukan seekor makhluk yang terperangkap ke dalam lukah. Apakah dia itu Hantu Pirau?” tanya Dubalang Duo Belas.

“Benar, dubalang! Bawalah Hantu Pirau itu kemari!” titah sang Raja.

“Baik, Baginda! Hamba laksanakan!” ucap Dubalang Duo Belas seraya berpamitan.

Sebelum menuju ke atas bukit, ia mengajak Dubalang Sembilan dan Dubalang Tujuh untuk bersama-sama mengambil lukah tersebut. Setelah membuka tali pengikat lukah dari tonggak, ketiga dubalang tersebut membawa lukah yang berisi Hantu Pirau itu ke hadapan sang Raja.

“Sudah tahukah kalian, wahai dubalang! Makhluk inilah yang bernama Hantu Pirau yang sering menganggu anak-anak kecil,” ungkap sang Raja.

“Mengerti Baginda!” jawab ketiga dubalang itu serentak.

“Pengawal! Siapkan pedang yang tajam! Aku akan memotong-motong tubuh hantu ini,” perintah sang Raja kepada seorang pengawal.

Mendengar ancaman tersebut, Hantu Pirau itu pun langsung memohon ampun kepada Raja Negeri Jambi.

“Ampun, Tuan! Janganlah bunuh hamba! Jika Tuan sudi melepaskan hamba dari lukah ini, hamba akan memenuhi segala permintaan Tuan. Bukankah Tuan adalah Raja yang arif dan bijaksana?”

“Baiklah, kalau begitu! Aku hanya ada dua permitaan. Pertama, setelah keluar dari lukah ini, tinggalkan negeri ini dan jangan pernah kembali mengganggu wargaku lagi, terutama anak-anak kecil. Kedua, serahkan cincin pinto-pinto (pinta-pinta, yakni cincin sakti, apo yang kuminta harus ado) itu kepadaku!” kata sang Raja.

Hantu Pirau pun langsung menyanggupi permintaan Raja Jambi. Setelah dikeluarkan dari lukah, ia pun segera menyerahkan cincin pinto-pinto nya kepada sang Raja, lalu pergi meninggalkan Negeri Jambi. Sejak itu, Negeri Jambi tidak pernah lagi diganggu oleh Hantu Pirau. Keadaan negeri kembali aman, damai dan tenang. Seluruh penduduk kembali melakukan pekerjaan mereka sehari-hari dengan perasaan aman dan tenang.

Beberapa tahun setelah peristiwa Hantu Pirau itu, Raja Negeri Jambi tiba-tiba berpikir ingin membuktikan kesaktian cincin pinto-pinto pemberian Hantu Pirau. Namun karena keinginannya tidak ingin diketahui oleh rakyat Negeri Jambi, maka ia pun menyampaikan kepada rakyatnya bahwa dia akan pulang ke negerinya di Keling (India) dalam waktu beberapa lama.

Sesampai di negerinya, Raja Jambi pun segera menguji kesaktian cincin pinto-pinto itu.

“Hei cincin pinto-pinto! Jadikanlah Kota Bambay ini sebagai kota yang bertahtakan mutiara, batu permata, dan intan berlian!” pinta Raja Jambi.

Dalam waktu sekejap, suasana Kota Bombay tiba-tiba berubah menjadi gemerlap. Seluruh sudut kota dipenuhi dengan mutiara, batu permata dan intan berlian. Alangkah senang hati sang Raja melihat pemandangan yang indah dan menggiurkan itu. Ia pun enggan untuk kembali ke Negeri Jambi. Namun sebagai raja yang arif dan bijaksana, beberapa tahun kemudian ia mengutus salah seorang putranya yang bernama Sultan Baring untuk menggantikannya sebagai Raja Jambi.

Mendapat perintah itu, Sultan Baring pun segera berangkat ke Negeri Jambi bersama dengan beberapa orang pengawalnya. Sesampainya di Negeri Jambi, ia pun segera menyampaikan amanah ayahnya kepada seluruh rakyat Jambi bahwa sang Ayah tidak dapat lagi memerintah Negeri Jambi karena sudah tua. Setelah itu, ia membacakan surat pengangkatannya sebagai Raja Jambi Kedua setelah ayahnya. Rakyat Jambi pun menyambutnya dengan gembira, karena ia juga seorang Raja yang arif dan bijaksana seperti ayahnya. Konon, Sultan Baring inilah yang menurunkan raja-raja, sultan-sultan maupun raden-raden berikutnya, seperti Sultan Taha Saifuddin dan Raden Ino Kartopati.
Demikian cerita Raja Jambi Penakluk Hantu Pirau dari daerah Jambi, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam kategori dongeng yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat diambil dari cerita di atas adalah keutamaan sifat musyawarah mufakat untuk mengatasi segala permasalahan. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Dubalang Tujuh, Dubalang Sembilan, dan Dubalang Duo Belas. Ketika sudah tidak sanggup mengatasi Hantu Pirau, mereka segera bermusyawarah untuk mencari jalan keluar. Dalam kehidupan orang Melayu, musyawarah dan mufakat sangatlah dijunjung tinggi, dihormati dan dimuliakan, karena dengan musyawarah segala kesulitan yang dihadapi mudah untuk diselesaikan. Dikatakan dalam tunjuk Aja Melayu:

apa tanda hidup berilmu,
manfaat mufakat ianya tahu
duduk berunding bersanding bahu
sebelum melangkah memberi tahu
sebelum terlanjur mencari guru
sebelum menyalah bertanya dahulu


Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa ilmu pengetahuan sangatlah penting dalam kehidupan manusia, karena dengan ilmu pengetahuan segala kesulitan dapat diatasi dengan mudah. Oleh karenanya, setiap orang dituntut untuk rajin belajar agar mempunyai pengetahuan yang luas. Menurut orang tua-tua Melayu, manfaat ilmu pengetahuan bukan saja untuk kepentingan pribadi, juga bermanfaat bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Itulah sebabnya, dalam kehidupan orang Melayu, menuntut ilmu pengetahuan sangatlah diutamakan. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

wahai ananda dengarlah pesan,
menuntut ilmu engkau utamakan
banyakan amal kuatkan iman
supaya dirimu dikasihi Tuhan

bertuah parang karena hulunya,
bulu dikepal elok terasa
bertuah orang karena ilmunya
ilmu diamalkan hidup sentosa


Sumber:
Kaslani. Buku Cerita Rakyat Dari Jambi 2. Jakarta: Grasindo. 1998.

Sabtu, 23 Januari 2010

Profil Desa

Asal Usul
Dusun Sungai Puar sudah ada jauh sebelum saya lahir, saya gak tau persis hari jadinya kapan?

Apakah mungkin desa ini sudah ada ketika Negeri Jambi ini yang dahulu kala masih berbentuk kerajaan yang dikenal dengan nama Kerajaan Melayu II, dengan Rajanya yang bernama Datuk Berhalo dan Permaisuri Putri Pinang Masak yang kemudian melahirkan seorang putra bernama Orang Kayo Hitam, sekitar tahun 1460 - 1907 M, emm...entahlah? "siapa juga yang mau meneliti". Tapi kalau malihat bukti-bukti yang ada, seperti makam-makam jaman Belanda berarti desa ini sudah ada lho? tapi tentu saja belum definitif...yah mungkin boleh dibilang "orang talang". Sultan Jambi pada waktu itu yang berani melawan Kumpeni adalah Sultan Thaha Syaifuddin antara 1856 - 1904 M, jadi kesimpulan sementara kemungkinan desa ini ada pada jaman itu, kenapa? karena ada makam belanda terlepas itu makam makam siapa? apakah Kumpeni atau makam masyarakat setempat.

Nama Sungai Puar berasal dari nama salah satu sungai yang ada di dusun ini adanya di bagian hilir dusun, dan Puar adalah nama jenis tumbuhan yang buahnya enak dimakan bentuknya lancip lebih mirip jagung.

Letak
Geografis dusun ini adalah dataran dengan topografi datar. Secara administratif Dusun Sungai Puar termasuk salah satu desa yang ada di kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, Terbagi menjadi 3 (tiga) Rukun Tetangga, dan dikepalai oleh seorang Kadus. Jarak dari Kota Jambi ke Dusun Sungai Puar, ± 128 km atau 2 jam lebih perjalanan dengan kendaraan bermotor, terus masuk kedalam menggunakan jasa Ojek ±5 km (Ojeknya jangan mahal-mahal bang biar orang seneng datang).

Tradisi
Di dusun ini pada saat Hari Raya Idul Fitri mempunyai tradisi yang sama dengan banyak tempat di Indonesia yaitu "Pulang Kampung" atau "Mudik" karena cukup banyak juga yang merantau. Umunya yang merantau adalah untuk bekerja atau untuk melanjutkan sekolah, bahkan banyak diantaranya yang memilih tinggal secara permanen di rantau orang dengan berbagai alasan. Biasanya saat lebaran Potong Kerbau pasti, yang sudah menjadi tradisi penduduk setempat dari dahulu kala, dan untuk makanan tradisional hampir sama dengan makanan tradisional melayu lainnya yaitu Kue 8 Jam : seperti kue bolu basah yang enak dan manis rasanya dan cara masaknya dipanggang selama 8 jam,Joda Tlak (dodol), Lemang (ketan yang dimasak dengan bambu), Kue Talam,dll. Untuk masakan lainnya yang tak kalah enaknya adalah Gulai Tempoyak : Tempoyak adalah durian yang sudah di fermentasi dengan dicampur garam untuk mengemulsi nya dan Tempoyak rasanya asam, manis, dan asin (kayak nano-nano bae jok)dan biasanya di masak dengan Ikan Patin, ikan Ruan (Gabus), Ikan Baung dan Ikan Betok, maupun Udang, ada lagi makanan khas masyarakat dusun ini yaitu Sambal Tomat (Sambal Terasi dengan Tomat Kecil), Sambal Kemang (Sambal Terasi dengan buah Kemang) dan Sambal Macang (Sambal Terasi dengan buah Bacang). bersambung...

Penduduk

Menurut sensus penduduk pada tahun 2000, dusun ini termasuk berpenduduk sedang dengan jumlah penduduk 1232 jiwa. Berdasarkan jenis kelamin, Laki-laki 492 jiwa, Perempuan 740 jiwa Sumber : www.pu.go.id

Mata Pencaharian

1. Tani
2. Buruh
3. Dagang
4. Tukang
5. PNS
6. Lain-lain
Ini posting untuk Kependudukan coy

Jalan

Akses masuk ke dusun Sungai Puar adalah melalui satu-satunya jalan yang sejak sekitar 7 (tujuh) tahun yang lalu sudah merupakan jalan asphal hotmix. Sebelumnya merupakan jalan batu kerikil. Panjang jalan ±5 km, dari jalan provinsi yang menghubungkan Kota Jambi dan Muaro Bungo. Saat ini kondisi jalan kurang terawat, banyak kerusakan yang diakibatkan kendaraan truk yang lewat melebihi kapasitas yang diijinkan disamping memang kurang baiknya struktur tanah dasar.

Link

gramedia-online-download-buku-gratis.blogspot.com
Lha ini buat daftar link terkait, semua masih di proses tenang aja!